MENGUAK KISAH DIBALIK HARI JADI WAJO
Kebesaran
tanah Wajo pada masa dahulu, termasuk kemajuannya di bidang pemerintahan,
kepemimpinan, demokrasi dan jaminan terhadap hak-hak raknyatnya. Adapun konsep
pemerintahan adalah :
- Kerajaan
- Republik
- Federasi, yang belum ada duanya pada masa itu
Hal
tersebut semuanya ditemukan dalam LONTARAK SUKKUNA WAJO. Sebagaimana yang
diungkapkan bahwa beberapa nama pada masa Kerajaan Wajo yang berjasa dalam
mengantar Tana Wajo menuju kepada kebesaran dan kejayaan antara lain :
- LATADAMPARE PUANGRIMAGGALATUNG
- PETTA LATIRINGENG TO TABA ARUNG SIMETTENGPOLA
- LAMUNGKACE TOADDAMANG
- LATENRILAI TOSENGNGENG
- LASANGKURU PATAU
- LASALEWANGENG TO TENRI RUA
- LAMADDUKKELLENG DAENG SIMPUANG, ARUNG SINGKANG (Pahlawan Nasional)
- LAFARIWUSI TOMADDUALENG
Dan
masih banyak lagi nama-nama yang berjasa di Tanah Wajo yang menjadi peletak
dasar kebesaran dan kejayaan Wajo.
Beberapa
versi tentang kelahiran Wajo, yakni :
- Versi Puang Rilampulungeng
- Versi Puang Ritimpengen
- Versi Cinnongtabi
- Versi Boli
- Versi Kerajaan Cina
- Versi masa Kebataraan
- Versi masa ke Arung Matoa-an
Dari
versi tersebut, disepakati yang menjadi tahun dari pada Hari Jadi Wajo ialah
versi Boli, yakni pada waktu pelantikan Batara Wajo pertama LATENRI BALI Tahun
1399, dibawah pohon besar (pohon Bajo). Tempat pelantikan sampai sekarang masih
bernama Wajo-Wajo, di daerah Tosora Kecamatan Majauleng.
Terungkap
bahwa, pada mulanya LATENRI BALI bersama saudaranya bernama LATENRI TIPPE
secara berdua diangkat sebagai Arung Cinnongtabi, menggantikan ayahnya yang
bernama LAPATIROI. Akan tetapi dalam pemerintahannya, LATENRI TIPPE sering
berbuat sewenang-wenang terhadap rakyatnya yang diistilahkan ”NAREMPEKENGNGI
BICARA TAUWE”, maka LATENRI BALI mengasingkan dirinya ke Penrang (sebelah Timur
Tosora) dan menjadi Arung Penrang. Akan tetapi tak lama kemudian dia dijemput
rakyatnya dan diangkat menjadi Arung Mata Esso di Kerajaan Boli. Pada upacara
pelantikan dibawah pohon Bajo, terjadi perjanjian antara LATENRI BALI dengan
rakyatnya dan diakhiri dengan kalimat ”BATARAEMANI TU MENE’ NA JANCITTA,
TANAE MANI RIAWANA” (Hanya Batara Langit di atasnya perjanjian kita, dan
bumi di bawahnya) NARITELLANA PETTA LATENRI BALI PETTA BATARA WAJO.
Berdasarkan
perjanjian tersebut, maka dirubahlah istilah Arung Mata Esso menjadi Batara,
dan kerajaan baru didirikannya, yang cikal bakalnya dari Kerajaan Boli, menjadi
Kerajaan Wajo, dan LATENRI BALI menjadi Batara Wajo yang pertama.
Sedangkan
untuk menentukan tanggal Hari Jadi Wajo, dikemukakan beberapa versi, yakni :
- Versi tanggal 18 Maret, ketika armada Lamaddukkelleng dapat mengalahkan armada Belanda di perairan Pulau Barrang dan Koddingareng.
- Versi tanggal 29 Maret, ketika dalam peperangan terakhir, Lamaddukkelleng di Lagosi, dapat memukul mundur pasukan gabungan Belanda dan sekutu-sekutunya.
- Versi tanggal 16 Mei, ketika Lasangkuru Patau bergelar Sultan Abdul Rahman Arung Matoa Wajo, memeluk agama Islam.
- Versi ketika Andi Ninnong Ranreng Tuwa Wajo, menyatakan di depan Dr. SAM RATULANGI dan LANTO DG. PASEWANG di Sengkang pada Tahun 1945 bahwa rakyat Wajo berdiri di belakang Negara Kesatuan Indonesia.
Dari
versi tersebut, disepakati yang menjadi tanggal daripada Hari Jadi Wajo, ialah
versi tanggal 29 Maret, karena sepanjang sejarah belum pernah ada pejuang yang
mampu mengalahkan Belanda pada pertempuran terakhir. Peristiwa ini terjadi pada
Tahun 1741.
Dengan
perpaduan dua versi tersebut di atas, maka disepakati: Hari Jadi Wajo ialah
Tanggal 29 Maret 1399.
Kebesaran
dan kejayaan Kerajaan Wajo pada masanya, disebabkan oleh berbagai aspek
sebagaimana telah dikemukakan tedahulu, namun ada hal yang sangat hakiki yang
perlu mendapatkan perhatian, yakni adanya kepatuhan dan ketaatan Raja dan
rakyatnya terhadapat Pangadereng, Ade yang diwarisi dan disepakati, Ade
Assiamengeng, Ade Amaradekangeng, sistem Ade dengan sitilah ADE MAGGILING
JANCARA, serta berbagai falsafah hidup, pappaseng dan sebagainya.
Kepatuhan
dan ketaatan rakyat Wajo terhadap rajanya, sebaliknya perhatian dan pengayoman
raja terhadap rakyatnya adalah satu aspek terwujudnya ketentraman dan kedamaian
dalam menjalankan pemerintahan pada masa itu. Hal ini dapat kita lihat, pada
saat LA TIRINGENG TO TABA dalam kedudukannya sebagai Arung Simettengpola
mengadakan perjanjian dengan rakyatnya. Perjanjian ini dikenal dengan ”LAMUNGPATUE
RILAPADDEPA” (Penanaman batu = Perjanjian Pemerintahan di Lapaddeppa’).
Inti dari perjanjian ini ialah bahwa rakyat akan patuh terhadap perintah raja, asalkan atas kebaikan dan kemaslahatan rakyat, demikian pula raja akan senantiasa mengayomi rakyatnya dengan dasar Ade, Pengadereng (hukum), dengan pengakuannya :
”IO
TO WAJO, MAUTOSA MUPAMESSA’, MUA RIATIMMU, MUPAKEDOI RILILAMU MAELO’E PASSUKKA’
RIAKKARUNGEKKU RI BETTENGPOLA, MAPERING TOKKO NA BACU BACUE, ONCOPISA REKKO
MUELOREKKA’MAJA’ MATTI PAJJEO TO WAJO”
Artinya
:
Ya
orang-orang Wajo, sekalipun menimbulkan dalam hatimu atau menggerakkan dalam
lidahmu, hendak mengeluarkan aku dari jabatan kerajaanku di Bettengpola, engkau
akan tersapu bersih dari pada tersapunya batu-batu. Apalagi jika kalian
bermaksud jahat terhadapku, maka engkau kering bagaikan garam.
Pada
bagian lain Petta Latiringeng To Taba Arung Sao Tanre, Arung Simettengpola
mengemukakan ”NAPULEBBIRENGNGI TO WAJJOE MARADEKA NAKKEADE’, NAMAFACCING RI
GAU SALAE, NAMATINULU MAPPALAONG, NASABA RESOFA TEMMANGINGNGI MALOMO NALETEI
PAMMASE DEWATA, NAMAFAREKKI WARANG PARANG, NASABA WARANG PARANGMITU WEDDING
MAPPATUWO, WARANG PARANG MITU WEDDING MAPPAMATE”.
Artinya
:
Yang
menjadikan orang Wajo mulia ialah Kemerdekaan yang menjunjung tinggi hukum dan
hak azasi manusia, ia rajin bekerja, karena hanya dengan kerja keras sebagai
titian untuk mendapatkan limpahan Rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Hemat
terhadap harta benda, karena harta benda orang bisa hidup sempurna dan harta
benda pula bisa mematikan orang.
Apa
yang telah diletakkan oleh Batara Wajo Pertama ini, oleh Batara Wajo dan Arung
Matowa berikutnya terus dikembangkan sampai masa pemerintahan ARUNG MATOWA WAJO
KEEMPAT: LATADAMPARE PUANG RIMAGGALATUNG, Wajo mencapai kejayaan. Pada masa
pemerintahan inilah selama sepuluh tahun disempurnakan segala peraturan hukum
adat, pemerintahan dan peradilan, dan mengajarkan etika pemerintahan,
merealisasikan demokrasi dan hak-hak azasi manusia, konsep negara sebagai abdi
rakyat (public servent) dan konsep Rule of Law (hukum yang
dipertuan bukan raja).
Salah
satu Ade Amaradekangengna yang dimuat secara terpencar dalam Lontarak Sukkuna
Wajo, yang selanjutnya menjadi motto pada Lambang Daerah Kaubpaten Wajo
(walaupun disingkatkan), antara lain berbunyai :
”MARADEKA
TOWAJOE NAJAJIAN ALENA MARADEKA, TANAEMMI ATA, NAIYYA TOMAKKETANAE MARADEKA
MANENG, ADE ASSAMA TURUSENNAMI NAPOPUANG”.
Artinya
:
Orang-orang
Wajo, adalah orang merdeka, mereka merdeka sejak dilahirkan, hanya negeri
mereka yang abdi, sedangkan si pemilik negeri (rakyat) merdeka semua dan hanya
hukum adat yang disetuji bersama yang mereka pertuan.
Kebesaran
dan kemuliaan Tana Wajo disebutkan dalam Lontarak :
MAKKEDATOI
ARUNG SAOTANRE PETTA TO TABA’ LA TIRINGENG : ”NAIA PARAJAIENGNGI WAJO’, BICARA
MALEMPU’E NAMAGETTENG RI ADE’ MAPPURAONRONA, NAMASSE’ RI ADE’ AMMARADEKANGENNA
IA TONA PASIAMASENGNGE TAUE RI LALEMPANUA, PASIO’DANINGNGE TAU
TEMMASSEAJINGNGENG, NASSEKITOI ASSEAJINGENNA TANAE. NAPOALIE’-BIRETTOI TO
WAJO’E MARADEKAE, NAIATOSI NAPOASALAMAKENGNGE TO WAJO’E MAPACCINNA ATINNA
NAMALEMPU’, NAMATIKE’, NAMATUTU, NAMETAU’ RI DEWATA SEAUAE, NAMASIRI’ RIPADANNA
TAU. LATONARO KUAE PACCOLLI’I PA’DAUNGNGI WAJO’, PATTAKKEI, PAPPALEPANGNGI,
PAPPARANGA-RANGAI, NALORONG LAO ORAI’, LAO ALAU’, LAO MANINAG, LAO MANORANG,
MATERENG RAUNNA MACEKKE’ RIANNAUNGI RI TO WAJO’E”.
Artinya
:
Berkata
pula Arung Saotanre Tuan Kita To Taba’ La Tiringeng: ”Yang membesarkan Wajo,
ialah peradilan yang jujur, getang pada adat tetapnya dan teguh pada adat
kebesarannya. Itu pula yang menyebabkan orang-orang saling mengasihi di dalam
negeri, saling merindui orang-orang yang tidak bersanak dan mengukuhkan
persahabatan negeri. Menjadikan pula orang-orang Wajo mulia karena
kebebasannya. Yang menyelamatkan orang-orang Wajo, ialah ketulusan hatinya dan
kejujurannya lagi waspada, berhati-hati, takut kepada Dewata Yang Esa dan
menghargai harkat sesamanya manusia. Yang demikian itulah yang memutikkan dan
mendaunkan Wajo, menangkaikan dan memelepahkan serta melebarkannya, menjalar ke
barat, timur, selatan dan ke utara, rimbun dan dingin daunnya dinaungi oleh
orang-orang Wajo”.
Nilai-nilai
luhur yang antara lain dikemukakan di atas, maupun dalam Lontarak Sukkuna Wajo
adalah kearifan yang menjadi jati diri rakyat Wajo, yang seharusnya kita
kembangkan dan lestarikan.
Sumber :
- Wajo Abad
XV-XVI, Suatu Penggalian Sejarah terpendam Sulawesi Selatan dari Lontara;
Prof. Mr. Dr. Andi Zainal Abidin, 1985 - Munculnya Kerajaan Elektif
Wajo, Suatu Percobaan untuk Menemukan Hari Jadi Daerah Wajo;
Prof. Mr. Dr. Andi Zainal Abidin, 1985 - Sejarah Singkat Hari Jadi Wajo;
Drs. Hamid M. ; Andi Pabbarangi ; Dammar Jabbar, Maret 2000
0 Comments:
Posting Komentar